Kemiskinan adalah permasalahan yang kompleks bagi setiap negara, terutama negara besar seperti Indonesia. Kebijakan dan penanganannya harus merata dan menyeluruh agar tidak menimbulkan kebingungan dan kekisruhan sebagai ekses negatif penanggulangannya. Hingga saat ini masalah kemiskinan di Indonesia menjadi masalah yang berkepanjangan.
Perhatian pemerintah terhadap penuntasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penanggulangan kemiskinan merupakan prioritas utama kebijakan pembangunan nasional yang juga merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 yang diharapkan dapat menurunkan presentase penduduk miskin menjadi 8,2% pada tahun 2009. Saat ini pemerintah tengah melakukan langkah prioritas dalam jangka pendek pertama untuk mengurangi kesenjangan antardaerah dengan beberapa kebijakan.
Pertama, penyediaan sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama pada daerah-daerah langka sumber air bersih. Kedua, pembangunan jalan, jembatan dan dermaga terutama untuk daerah terisolasi dan tertinggal. Ketiga, redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen dana alokasi khusus (DAK).
Jangka panjang kedua bertujuan memperluas kesempatan kerja dan berusaha. Itu dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha terutama melalui kemudahan dalam mengakses kredit mikro dan UKM, pelatihan keterampilan kerja untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, meningkatkan investasi dan revitalisasi industri termasuk industri padat tenaga kerja, pembangunan sarana dan prasarana, dan pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Prinsip-prinsip PNPM Mandiri adalah pemberdayaan masyarakat yang memprioritaskan kelompok masyarakat miskin. Keterlibatan masyarakat miskin itu digalakkan dengan pendampingan yang dilakukan oleh pengawas dari berbagai level pemerintahan. Sedangkan pengambilan keputusan dilaksanakan secara sederhana di tingkat lokal, yaitu oleh masyarakat sendiri dan didanai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat luas.
Jangka panjang ketiga, khusus untuk pemenuhan hak dasar penduduk miskin secara langsung diberikan pelayanan antara lain dengan pemberian pendidikan gratis bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun. Untuk meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar, dengan target utama daerah dan masyarakat miskin, terpencil dan terisolasi maka mulai tahun ajaran 2005/2006 pemerintah menyediakan biaya operasional sekolah (BOS), sebagai langkah awal pelaksanaan pendidikan dasar gratis.
Selain itu juga memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas III. Dengan ditetapkannya Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka upaya peningkatan akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan dilanjutkan dan lebih ditingkatkan melalui upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin dengan sistem jaminan/asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah.
Untuk pelaksanaan program-program tersebut, Indonesia (sebagai negara berkembang) bisa meminta bantuan dari luar negeri. Tapi negara berkembang penerima fasilitas itu sendiri harus berkomitmen untuk menggunakan uang tersebut secara benar. Tujuan makronya tentu untuk mengurangi kemiskinan. Kita berharap negara-negara maju secara kesatuan bisa menunjang program-program tersebut, dengan mengucurkan bantuannya.
Selain itu, budaya pembangunan di Indonesia harus dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat dan pelibatan peran aktif masyarakat. Utamanya, tentu, masyarakat miskinnya, mulai dari perencanaan program pembangunan baik penentuan kebijakan dan anggarannya, maupun pelaksanaan program serta monitoring dan evaluasinya.
Beberapa referensi memberikan definisi yang berbeda tentang definisi dan indikator kemiskinan tersebut. Salah satu indikator kemiskinan menurut Bappenas adalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak masih menjadi persoalan bagi masyarakat miskin. Pada umumnya kesulitan pemenuhan pangan ini disebabkan oleh rendahnya daya beli, tata niaga yang tidak efisien, dan kesulitan stok pangan di beberapa daerah yang terjadi pada musim tertentu.Masalah kecukupan pangan bukan hanya terkait dengan produksi bahan pangan, tetapi juga masalah peningkatan pendapatan karena mayoritas petani miskin harus membeli bahan makanan mereka. Beberapa aset kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan pangan diantaranya hasil pertanian dan ternak. Daerah dengan aset pemenuhan kebutuhan pangan lengkap maka pemanfaatan aset tersebut dapat dioptimalkan untuk penurunan angka kemiskinan.
Kriteria penentuan penduduk miskin tentunya tergantung kondisi daerah masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh BPS, perhitungan garis kemiskinan sebagai kriteria penentuan penduduk miskin dibedakan untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Kriteria penentuan penduduk miskin yang berbeda maka mempengaruhi kebijakan yang diberikan kepada daerah masing-masing. Suatu analisis permodelan regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi angka kemiskinan yang dipengaruhi oleh karakteristik wilayah adalah sangat penting. Permodelan tersebut adalah model spasial. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat berupa aset kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan. Lalu pemerintah mengambil kebijakan dalam menanggulangi tingkat kemiskinan yaitu dengan dua cara, yaitu :
1. Secara Tidak Langsung
Agar revitalisasi pertanian dapat berhasil dengan baik, perlu memperhatikan bahwa pembangunan pertanian tidak dapat terlaksana hanya oleh petani itu sendiri. Pertanian tidak dapat berkembang melampaui tahap pertanian tradisional tanpa adanya perkembangan dibidang-bidang lainnya dari masyarakat dimana pertanian itu dilaksanakan. AT Monsher (1965) menyaratkan lima syarat mutlak harus ada agar revitalisasi pertanian berhasil yaitu :
a) Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani,
b) Teknologi yang senantiasa berkembang,
c) Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal,
d) Adanya perangsang produksi bagi petani seperti harga hasil produksi tani yang menguntungkan, pembagian hasil yang wajar dan tersedianya barang dan jasa yang mampu dibeli oleh para petani dan keluarganya,
e) Adanya pengangkutan yang lancar efisien dan murah serta terus menerus.
2. Secara Langsung
Sasaran kebijakan ini adalah masyarakat miskin yang tersebar di seluruh kota dan kabupaten di Indonesia. Di tingkat desa di daerah-daerah kantung kemiskinan akan dibentuk Lembaga Perkreditan Desa (LPD). LPD ini akan dilaksanakan dan dimiliki oleh masyarakat desa itu sendiri dengan manajer unsur KKMB. Dana LPD bersumber dari Pemerintah Daerah dan BUMN dan Perbankan. Sumber dana BUMN dan Perbankan dapat terdiri dari Kredit Komersial, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) serta Corporate Social Responsibility (CSR). LPD akan diawasi oleh pihak mitra dalam hal ini adalah pihak donatur yaitu BUMN dan Perbankan dengan koordinasi Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Daerah atau BPM-PD Indonesia.
Kebijakan pemerintah dalam bidang pangan masih belum mampu mengelola proses produksi dan pemasaran sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani. Hal ini semakin diperparang dengan pendekatan yang semakin meminggirkan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat.
Kondisi ketahanan pangan yang ada di Indonesia saat ini kian mengarah pada posisi yang serba tak pasti. Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan, terdapat 81 juta orang yang mengalami defisit energi protein, sementara 8 juta orang lainnya berada dalam kondisi rawan pangan. Begitu pun status lain, akses pangan di rumah tangga terhadap masih memprihatinkan. Di rumah tangga, konsumsi rata-rata pangan mencapai standar kecukupan. Data anak, angka kematian bayi, dan gangguan pertumbuhan anak menunjukkan indikasi belum tercukupinya kebutuhan gizi di tingkat individu secara merata.
Kerawanan pangan ini jelas merupakan akibat dari sebab yang sangat bervariasi. Akan tetapi sebab utama dari persoalan ini adalah karena masalah kemiskinan. Sebagai contoh Provinsi Sulawesi Utara, di mana data Dewan Ketahanan Pangan Nasional tahun 2003 menunjukkan, sebagian besar anggota masyarakat mengalami defisit energi protein karena mengonsumsi di bawah jumlah yang dianjurkan. Data tersebut menampilkan bahwa pada tahun 2003, mereka tersebar pada kelompok yang pengeluaran untuk pangannya Rp 40.000-Rp 59.999 per kapita/bulan sampai dengan Rp 150.000-Rp 199.999. Mereka mengonsumsi energi 1.322- 1.998 Kkal/kapita/hari dan jumlahnya 127,9 juta jiwa atau 60 persen dari total populasi Indonesia.
Di antara kelompok defisit energi itu terdapat juga kelompok yang mengalami defisit protein yang besarnya 81,5 juta jiwa tahun 2003. Dari antara kelompok yang mengalami defisit energi, terdapat kelompok rawan pangan, yaitu yang mengonsumsi hanya 70 persen kecukupan energi. Mereka adalah kelompok dengan penghasilan per bulan kurang dari Rp 80.000 per bulan yang mengonsumsi hanya 1.410 Kkal dan jumlah tahun 2003 sebesar 8 juta orang. Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan menyebutkan, penyebab penurunan itu masih harus diteliti, tetapi yang telah diketahui adalah penurunan konsumsi rata-rata beras per kapita dari sekitar 111,5 kg pada tahun 2002 menjadi 109,7 kg pada tahun 2003.
Data di atas sudah cukup memperjelas kita bahwa sebab utama kondisi rawan pangan di Indoneisa adalah masalah kemiskinan. Dalam konteks ini, kita saat ini telah banyak disodori fakta pahwa untuk penanggulangan kemiskinan sudah tidak tepat lagi untuk memberikan bantuan-bantuan yang bersifat charity. Akan tetapi penanggulangan kemiskinan dalam paradigma baru adalah dengan mengandalkan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Pada saat ini modal sosial yang ada di masyarakat Indonesia disinyalir oleh banyak pidak juga telah mengalami banyak kemerosotan. Rasa kebersamaan, gotong-royong, saling bantu dan saling percaya yang dulu pernah tumbuh subur di masyarakat kita, sekarang sudah menjadi barang langka.
Rabu, 05 Oktober 2011
Tingkat Kemiskinan Di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar